Wednesday, August 12, 2009

Bulan Sya'ban

Dari Dakwatuna.com

Bulan Sya’ban secara urutan bulan hijriah jatuh sebelum bulan Ramadhan. Dalam riwayat Imam Bukhari, Aisyah ra. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. selalu memperbanyak puasa di bulan Sya’ban? Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa tidak ada bulan melebihi bulan Sya’ban di dalamnya Rasulullah saw. berpuasa. Dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw. berpuasa mayoritas hari-hari bulan Sya’ban. Mengapa?

Ada beberapa rahasia di antaranya:
Pertama, puasa adalah keperluan fitrah manusia. Kerana itu Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya berpuasa. Dalam surah Al Baqarah 183 Allah swt. menyebutkan bahwa puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat manusia tertentu tetapi juga kepada umat manusia terdahulu. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak boleh tidak wajib dilakukan. Ilmu kedoktoran modern membuktikan bahawa dengan puasa pencernaan seseorang akan istirahat dari rasa lelah yang sekian lama terus menerus digunakan untuk mengolah makanan. Maka semakin sering seseorang berpuasa ia akan semakin sehat. Sebab kemungkinan timbulnya penyakit yang seringkali disebabkan oleh makanan akan tercegah secara otomatik ketika ia berpuasa.

Kedua, bulan Ramadhan adalah bulan diwajibkannya puasa bagi orang-orang beriman. Jadi pengertian ayat: kutiba alaikumush shiyaam itu maksudnya untuk bulan Ramadhan. Kerana itu dalam sebuah hadits Nabi menegaskan bahwa di bulan Ramadhan diwajibkan atas orang-orang beriman berpuasa. Adalah suatu persiapan yang sangat strategik ketika Rasulullah selalu memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Ibarat sebuah pertandingan, bulan Ramadhan adalah tempat perlumbaan beramal saleh, cerminan ayat: “fastabiqul khairaat (berlumba-lumbalah dalam kebaikan)” Al Baqarah:148. Kerana itu sebelum masuk Ramadhan hendaklah melakukan persiapan-persiapan terlebih dahulu dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Kita semua tahu bahawa para peserta pertandingan pasti melakukan persiapan sebulan dua bulan sebelumnya. Itulah rahasia mengapa Rasulullah saw. memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Agar tidak lemah selama bulan Ramadhan. Agar lebih maksimal melaksanakan ibadah-ibadah Ramadhan yang semuanya saling melengkapi untuk mengantarkan kepada ketakwaan.

Ketiga, ibadah puasa adalah ibadah menahan nafsu. Suatu perjuangan yang sentiasa harus dilakukan oleh orang-orang beriman. Dalam surah An Nazi’at:40 Allah swt. menjelaskan bahawa jalan ke surga adalah dengan upaya terus-menerus membangun rasa takut kepada Allah dan menahan nafsu. Mengapa? Sebab Syaitan berkerja terus menerus, siang dan malam untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa-dosa. Kerja keras syaitan ini tidak boleh tidak menuntut kita untuk bekerja keras juga guna mengimbanginya. Orang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, tentu akan selalu waspada dari godaan syaitan. Caranya dengan banyak berpuasa. Semakin sering berpuasa, semakin sempit jalan-jalan syaitan untuk menggoda. Sebab dalam sebuah riwayat dikatakan bahawa syaitan seringkali masuk melalui makanan. Maka semakin banyak makan, semakin mudah digoda syaitan. Kerananya orang yang kekenyangan akan selalu malas beribadah.

Keempat, Rasulullah saw. adalah contoh peribadi berakhlak mulia. Allah berfirman: “Wainnaka la’alaa khuluqin adhiim (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlaq yang agung)” Al Qalam:4. Maka setiap yang dicontohkan Rasulullah saw. pasti baik untuk kemanusiaan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada perbuatan yang dilakukan Rasulullah saw. kecuali membawa manfaat bagi kehiduapan manusia jika diikuti. Dan bila kita teliti secara seksama, menejemen modern yang mengantarkan munculnya negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan bisnis kelas dunia, di dalamnya akan kita temukan nilai-nilai universal yang pada dasarnya itu adalah bahagian dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw. Maka dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, itu sungguh sangat baik dan bermanfaat, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.

Kelima, adapun mengenai amalan di pertengahan bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban), sekalipun ada sebagian hadits yang dianggap hasan oleh para ulama hadits, tetapi terpenting sebenarnya adalah memperbanyak puasa selama bulan Sya’ban, bukan mengkhususkannya pada pertengahan saja.

Imam An Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits dari Usamah bin Zaid tentang rahasia memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, Nabi bersabda: “Bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan oleh banyak orang, karena itu terjepit antara Rajab dan Ramadhan. Padahal ia adalah bulan di angkatnya amal manusia, maka aku suka ketika amalku diangkat aku sedang berpuasa.” Wallahu a’lam bish shawab.

Wednesday, August 5, 2009

Menghormati Guru

Ilmu amat tinggi kedudukannya di dalam Islam. Demikian pula mereka yang mengajarkan dan menyebarkan ilmu
Setiap akhir masa pengajian, atau satu peringkat tarbiyah, lahir dari rahim pendidikan, orang-orang berilmu ke dunia; samada peringkat rendah atau peringkat tinggi, termasuklah para sarjana dan golongan professional. Namun berapa banyakkah dari mereka dikira murid yang menghormati guru-guru mereka?.
Di zaman kini, Tak sedikit orang pandai, namun banyak yang lupa, seolah-olah kepandaian dan kekayaan ilmunya menjadi dengan sendirinya tanpa sentuhan dan doa para guru-guru mereka yang mengajarkan secara ikhlas.
Islam sangat menganjurkan agar umatnya menghormati para ulama dan guru-guru mereka.
Dalam kitab Ta'lim Muta'allim dijelaskan bagaimana cara menghormati guru, di antaranya; tidak boleh berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat yang diduduki gurunya, bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan kecuali atas izinnya. Murid mestilah mendapatkan ridha dari gurunya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (SAW) bersabda:
“Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu dengan ketenangan dan sikap hormat serta tawadhu’lah kepada orang yang mengajarimu.”
Ilmu tidak akan dapat diperoleh secara sempurna kecuali dengan diiringi sifat tawadhu’ murid terhadap gurunya, karena keridhaan guru terhadap murid akan membantu proses penyerapan ilmu, tawadhu’ murid terhadap guru merupakan cermin ketinggian sifat mulia si murid.
Sikap tunduk murid kepada guru justru merupakan kemuliaan dan kehormatan baginya. Perilaku para sahabat, yang memperoleh tarbiyah langsung dari Rasulullah SAW patut dijadikan contoh.
Ibnu Abbas, sahabat mulia yang amat dekat dengan Rasulullah mempersilahkan Zain Bin Tsabit, untuk naik di atas kendaraannya, sedangkan ia sendiri yang menuntunnya.“Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami”, ucap Ibnu Abbas. Zaid Bin Tsabit sendiri mencium tangan Ibnu Abbas. “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ahli bait Rasulullah,” balas Zaid.
Orang-orang terdahulu sangat hormat terhadap ulama mereka. Terhadap Said bin Musayyab, faqih tabi’in, orang-orang tidak akan bertanya sesuatu kepadanya kecuali meminta izin terlebih dahulu, seperti layaknya seseorang yang sedang berhadapan dengan khalifah.
Sifat ini juga diikuti oleh para ulama. Imam Abu Hanifah sebagai contoh sangat menghormati gurunya. Beliau pernah berkata: “Aku tidak pernah shalat setelah guruku, Hammad, wafat, kecuali aku memintakan ampun untuknya dan untuk orang tuaku”. Perbuatan ini diikuti juga oleh Abu Yusuf. Murid Abu Hanifah, ia selalu mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan kedua orang tuanya sendiri.
Pengormatan Imam As Syaf’i kepada guru beliau Imam Malik, juga merupakan pelajaran. Imam Syafi’I pernah berkata: “Di hadapan Malik aku membuka lembaran-lembaran dengan sangat hati-hati, agar jatuhnya lembaran kertas itu tidak terdengar”. Rabi’, murid Imam As Syafi’i juga tidak ingin gurunya itu melihatnya ketika sedang minum,
Abdullah, putra dari Imam Ahmad bertanya kepada ayahnya. “Syafi’i itu seperti apa orangnya, hingga aku melihat ayah banyak mendoakannya?”. “Wahai anakku, Syafi’i seperti matahai bagi dunia..”, jawab Ahmad bin Hanbal. Sebagaimana disebutkan beberapa riwayat, bahwa selama tiga puluh tahun Imam Ahmad mendoakan dan memintakan ampunan untuk guru beliau Imam As Syafi’i.
Dengan guru beliau yang lain pun demikian. Imam Ahmad pernah berguru juga kepada Husyaim bin Bashir Al Wasithi selama lima tahun. ”Aku tidak pernah bertanya kepadanya, kecuali dua masalah saja karena rasa hormat.”
Sikap hormat dan tawadhu’mereka kapada para guru amat tinggi, bahkan dalam berdoa sendiri mereka mendahulukan para guru, baru kemudian orang tua. Kenapa dimikian?
Imam Al Ghazali menjelaskannya dalam Al Ikhya’ (1/55). ”Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan karena jeri payah guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tidak bermanfaat. Karena para guru yang memberikan manusia bekal menuju kehidupan akhirat yang kekal”.
Ketika ini, adab yang dicontohkan oleh para ulama tadi hampir pupus karena terkikis oleh kebodohan, sehingga tidaklah heran jika ada pencari Ilmu yang mencela gurunya sendiri, dikarenakan berbeda pendapat dalam masalah furu’. Sejauh apapun perbedaan kita, guru tetaplah guru. Nah, mudah-mudahan kita tidak termasuk dari golongan yang seperti ini.Sumber, http://www.hidayatullah.com